B.A.T.A.M
Oleh
Muhammad Natsir Tahar
Batam selalu seksi untuk
dibicarakan bahkan hingga ke level istana negara. Batam menjadi unik karena
satu – satu kota di Indonesia yang bersemuka dan memiliki posisi strategis
setara dengan Singapura. Kedua kota ini memiliki kesempatan yang sama untuk
maju. Tapi itu tidak terjadi bahkan Batam sedang terengah - engah.
Permasalahan Batam tidak
dipetakan dengan baik. Problema yang muncul ditangani secara parsial bahkan
salah penempatan. Belum diketahui pasti apakah tidak dilakukan identifikasi
masalah oleh orang – orang berkompeten. Ada skala – skala yang mesti dijajaki,
apakah itu global, regional atau lokal. Maka masalah yang muncul dari skala
global misalnya, tidak bisa diatasi dengan pendekatan lokal atau sebaliknya.
Setelah dipetakan,
masalah Batam perlu didiagnosa sehingga pendekatan untuk membaca aspek masalah
dilakukan secara konseptual. Eitzen membedakan dua pendekatan yaitu person
blame approach dan system blame approach. Pendekatan
pertama merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah yang muncul dengan
menempatkan individu sebagai unit analisanya. Siapa saja individu yang terkait
dengan kemerosotan Batam? Mereka harus segera ditemukan untuk kemudian dicegah
agar tidak membuat masalah menjadi rumit. Komponen ini harus diperbaiki atau
diganti.
Sedang pendekatan kedua
yakni system blame approach merupakan unit analisis untuk
memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi
bahwa sistem dan struktur dalam kelembagaan yang menaungi Batam sebagai sumber
masalah. Jika sistem yang dibuat didapati kontraproduktif dengan kemajuan
Batam, maka sistem itu harus diperbaiki.
Fase reformasi menjadi
momentum kemunduran Batam karena pulau ini dianggap sebagai legasi Orde Baru.
Dalam perspektif kapitalisme global, Batam pernah memasuki suatu kondisi yang
mendekati ideal sebagai pusat bisnis dan industri berskala internasional.
Ekonomi bertumbuh sangat cepat sehingga penyerapan lapangan kerja terbuka
signifikan. Pengawasan yang ketat terhadap ekses negatif dan stabilitas politik
khas Orde Baru menjadikan akselerasi pembangunan pulau ini melesat bagai
meteor.
Otorita Batam (OB) atau
sekarang BP Batam bekerja secara linier melalui pendekatan kapitalisme global.
Sehingga masyarakat yang muncul dan memenuhi Batam akan lebih dianggap sebagai
faktor produksi belaka. Batam terus menggelembung, unit – unit ekonomi privat
dan asing melalui Foreign Direct Investment akan menghidupi
masyarakat Batam sepanjang mereka memenuhi persyaratan untuk meningkatkan
kapasitas produksi. Lalu masalah administratif dan menyangkut sosial
kemasyarakatan diurus oleh Pemerintah Kota Administratif yang menjadi cikal
Pemerintah Kota Batam di era Otonomi Daerah (Otda).
Otda telah memberikan
kesempatan luas kepada daerah melalui kebijakan desentralisasi fiskal serta
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Namun di Batam hal ini menjadi
penyebab munculnya kontradiksi. Otorita Batam mengesankan pusat tidak serius menyerahkan
kewenangan atau menyimpangkannya dari aspek desentralisasi. Sementara Pemko
Batam merasa tercederai dengan kewenangan terbatas serta lebih banyak mengurus
soal ‘sampah’. Di luar itu solusi yang dibuat tentang pengaturan sinergi
dan pembagian kewenangan antara kedua lembaga ini tidak pernah muncul secara
tegas dan eksplisit.
Pusat seperti sengaja
membiarkan Batam tidak harmoni, memunculkan dualisme dan kebingungan bagi
investor. Pusat dan entah siapa mereka merasa berkepentingan terhadap Batam sehingga
status kota ini digantungkan. Aspek politik rezim dalam setiap estafet bahkan
lebih banyak memperburuk suasana.
Beberapa keputusan
Pemerintah Pusat untuk Batam bahkan memunculkan kontroversi dan ekonomi biaya
tinggi. Sementara OB atau BP mewariskan sistem yang rusak terutama dalam bidang
pengalokasian lahan sehingga perlu penangangan khusus yang memakan energi
bahkan menimbulkan kontraksi. Saat ini Batam sedang berada di titik terendah
pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah. Bahkan secara dominan memperburuk angka
pertumbuhan ekonomi Kepri.
Secara agregat
merosotnya pertumbuhan ekonomi Batam bersumber dari lesunya ekonomi global.
Terjadi PHK besar - besaran, stagnasi dan inflasi (stagflasi) dan efek
berganda yang dimunculkannya. Ikut melumpuhkan adalah kenaikan berbagai tarif
dan tidak ada stimulus berarti dari Pemko Batam sebagai jaring pengaman sosial
untuk korban PHK. Pemko Batam sendiri terjebak dalam kesempitan ruang fiskal,
karena anggaran yang tersedia selalu lebih banyak dihabiskan untuk membiayai
rutinitas yang hampir tak pernah mengalami proses semacam pengetatan ikat
pinggang.
Jika keadaan tidak
segera berubah maka ratusan atau ribuan perusahaan yang sudah menutup usahanya
di Batam dipastikan tidak kembali meski keadaan ekonomi global sudah membaik.
Solusinya presiden sebagai pemimpin nasional harus membuat langkah strategis
untuk menempatkan Batam sebagai sebuah kepentingan publik secara luas, bukan
sebatas dikotomi antara pusat dan daerah. Masalah yang muncul harus dipetakan
secara komprehensif, tidak parsial, tidak setengah – setengah, bukan lip
service, langsung menuju ke titik persoalan, lalu tuntaskan.~MNT
Komentar
Posting Komentar