FILOSOFI KOTA (BATAM)
Ilustrasi: https://img3.stockfresh.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dengan kepadatan
populasi melampaui satu juta jiwa, Batam tercantum sebagai Kota Megapolitan. Infrastruktur
dasarnya sudah purna, pertumbuhannya demikian cepat, berwajah avant-garde,
tapi terimpit di antara kerisauan prismatik dalam kultur kota dan kampung.
Banyak yang ingin dibincangkan tentang kota ini, baiknya dimulai dari yang
pokok - pokok saja.
Dari tinjauan City
Development Index (CDI) Batam tidak berada pada level sebagaimana
seharusnya. Sejak awal kota ini tidak dipersiapkan untuk menampung desakan
penduduk. Tapi lucunya hampir tidak ada – atau dicegah - desain preventif
ketika di masa depan pulau ini tiba – tiba menjadi penuh. CDI sebagai formula
untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan kota dengan acuan kemakmuran
rata – rata dan aksesibilitas individu pada fasilitas perkotaan akan menjauh
dari kata ideal ketika dihadapkan pada fenomena ini.
Beberapa sub indeks dari
CDI seperti layanan air bersih, jaringan listrik, sanitasi, telepon,
pengelolaan limbah dan sampah hingga sarana pendidikan dan kesehatan bertumbuh
dengan deret hitung, sementara pertambahan populasi penduduk berlari bagai
deret ukur. Paradoks – dua hal yang sama – sama memiliki nilai kebenaran -
tidak bisa dihindari ketika kita mempertanyakan apa sesungguhnya cita – cita
filosofis sebuah kota.
Filosofi kota
meniscayakan Batam sebagai tempat berhimpun segenap lapisan secara humanis dan
setara. Tapi dalam praktiknya, titik – titik strategis kota akan tetap memihak
kepada kekuatan modal. Tangan – tangan tersembunyi seperti yang pernah disitir
dari John Stuart Mill akan bergerak untuk menepikan jelata dari tanah, ruang dan
pelayanan publik.
Secara historis, Otorita
Batam telah meletakkan kerangka makro pembangunan kota ini secara hebat, dengan
infrastruktur terbaik se-Indonesia. Tapi itu hanya ditujukan untuk helat
membentangkan karpet merah kepada kekuatan modal, tanpa diimbangi dengan
antisipasi ekses sosio-ekonomi yang ada di belakangnya. Tumpukan persoalan
kemasyarakatan kemudian ditaruh dalam keranjang sampah.
Maka ketika Pemerintah
Kota Batam terbentuk, keranjang sampah tersebutlah yang menjadi tugas pokok
lembaga ini. Sejak lahir hingga sekarang, Pemko Batam tidak memiliki ruang
gerak yang cukup untuk mengemas isu – isu desentralisasi, sehingga otonomi
lokal yang disandangnya tidak optimal untuk memaksimalkan pelayanan publik. Hal
ini diperburuk oleh kencederungan politik anggaran yang diciptakan oligarki
lokal, senantiasa menekan anggaran pembangunan daerah.
****
Pemko Batam terjepit di
antara kepentingan Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan Pemprov Kepri, setelah
sebelumnya terjadi psywar selama belasan tahun
antara Otorita - BP dan Pemko Batam. Salah satu contoh paling kini adalah soal
penerapan tarif listrik. Di situ ada kepentingan BP Batam sebagai Dewan
Komisaris Bright PLN dan Pemprov Kepri yang melangkahi kewenangan Pemko Batam
dalam menetapkan tarif listrik.
Selain itu, berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemko Batam
sejak 2017 harus menyerahkan sejumlah kewenangan kepada Pemprov
Kepri di antaranya pengelolaan kelautan, sumber daya mineral,
kehutanan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), pengawas tenaga kerja,
dan pengelolaan SMA dan SMK Negeri.
Pemprov Kepri juga
memiliki kewenangan dalam mengelola laut dari titik nol hingga 12 mil. Sejak 1
April 2017, Dompak resmi mengambil alih pendapatan dari sektor labuh jangkar
dari BP Batam. Di perairan Kepri terdapat 18 titik labuh jangkar dan
tujuh di antaranya berada di Batam dengan potensi Rp 6 triliun per tahun.
****
Dari semua ini, maka
yang terlihat adalah Walikota Batam mau tidak mau bekerja secara piece
meal approach (menyelesaikan persoalan-persoalan kecil), antara lain
membangun proyek-proyek yang bersifat kosmetik dan parsial seperti pembenahan
badan jalan dan trotoar, semenisasi, pembangunan taman dan lampu hias serta
menggusur kios liar. Hal – hal tersebut mendampingi aktivitas rutinnya dalam
memenuhi undangan seremonial sebagai artikulasi politik untuk menyapa publik.
Kembali ke soal filosofi
kota, saat ini diperlukan pergeseran kaudran. Untuk dapat mengakses kota dan
hidup secara setara, warga kota harus mendorong dirinya agar mampu menjadi kaum
urban yang hidup layak dengan cara – cara memperbaiki kondisi ekonomi dan
pendidikan. Sikap hidup fatalistik atau pasrah tidak akan menjadi bagian dari
skema ini. Sementara Pemko Batam dengan segala keterbatasan ruang geraknya
tidak akan mampu untuk terus menerus memproduksi pelayanan publik. Lembaga ini
akan melakukan peran pragmatif sebagai fasilitator.
Yang diperlukan kemudian
adalah pemikiran jauh ke depan antara Pemko Batam, BP dan Pemprov Kepri, apa
sinergi yang dilakukan menghadapi fenomena ledakan penduduk dari hari ke hari,
sehingga sampai kepada satu titik ketika pulau ini sudah tidak bisa lagi
menampung. Jika pertumbuhan penduduk terus melejit seperti sekarang maka
kondisinya hanya dapat bertahan hingga tahun 2030 atau 13 tahun dari sekarang.
Berdasarkan data Badan
Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam, pada tahun 2030 itu terdapat
tiga skenerio. Pertama, berdasarkan ketercukupan lahan - dengan asumsi lahan
untuk pemukiman sudah stag – maka Batam hanya bisa menampung
3,3 juta orang. Kedua, jika melihat daya dukung air, Batam hanya bisa memenuhi
kebutuhan untuk 1,7 juta jiwa. Ketiga, jika memperhitungkan climate
change, oksigen, karbon dioksida, kualitas udara, maka daya tampung
Batam hanya mencapai 1,4 juta jiwa. Saat ini jumlah penduduk Batam sudah
mendekati 1,3 juta jiwa. Silakan menghitung mundur. ~MNT
Komentar
Posting Komentar