ANOMALI DALAM FENOMENA LOMPATAN QUANTUM
Ilustrasi: google.image.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Daya imajinasi seseorang
mampu menembus tembok- tembok logika dan melanglang buana entah kemana.
Imajinasi dapat sangat jauh meninggalkan realita yang tertatih-tatih
mengejarnya. Satu contoh, ketika Wright Bersaudara penemu pesawat baru sampai
pada tahap merasakan nikmatnya terbang dari bukit ke bukit, obsesi Flash Gordon
dengan misi intergalaktiknya telah mulai dikisahkan oleh seorang pengkhayal.
Dari Taj Mahal hingga Disnay Land dan apapun yang tampak menggelikan dan dicemooah mula-mulanya, adalah titik-titik imajinasi yang dirajut oleh seorang pengkhayal. Bahkan seorang pembangkang teori fisika klasik yang super jenius, Albert Einstein menempatkan imajinasi setingkat di atas ilmu pengetahuan.
Dari Taj Mahal hingga Disnay Land dan apapun yang tampak menggelikan dan dicemooah mula-mulanya, adalah titik-titik imajinasi yang dirajut oleh seorang pengkhayal. Bahkan seorang pembangkang teori fisika klasik yang super jenius, Albert Einstein menempatkan imajinasi setingkat di atas ilmu pengetahuan.
Dunia ini dengan segala
gemerlap dan pesona teknologi di dalamnya bermula dari sebuah fantasi. Memang
imajinasi dapat saja menerjang semua dimensi dan berkeliaran kemana-mana, namun
setiap imajinasi selalu dicoba untuk terus diwujudkan, segila apapun itu.
Begitu juga Batam. Pulau ini mulai dibangun dari sebuah fantasi seorang
futurolog yang obsesif. Sebuah kota modern telah tergambar paripurna dalam
masterplan yang menakjubkan. Pertumbuhan Batam pun melesat hebat seperti
fenomena lompatan quantum.
Lalu seperti apa Batam
sekarang? Kebijakan pembangunan Batam lepas kendali dengan memberikan akses
sangat besar kepada pengusaha properti untuk membangun tembok-tembok sekehendak
hati. “Batam kini jadi kota ruko,” tandas Habibie. Dalam visi Habibie, Batam
didesain dengan sangat futuristik, mulai dari sistem drainase, fasilitas
publik, green area serta tata pemukiman yang terukur dan tumbuh
berkembang by design.
Namun sekarang terlihat
asal jadi, bahkan tumpang tindih. Banyak area hijau berubah menjadi kawasan
komersial yang sesak. Demi memanjakan pengembang, OB rela main kucing-kucingan
dengan Departemen Kehutanan untuk menerbitkan Izin Prinsip (IP) di atas zona
hijau. Buntutnya, puluhan lokasi perumahan tidak bersertifikat.
Lucunya bank-bank tetap menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dibangun di atas zona hijau dengan mengabaikan aspek prudential (kehati-hatian), karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersikukuh tidak akan menerbitkan sertifikat. Tanpa terasa mereka menyimpan bom waktu yang siap meledak.
Lucunya bank-bank tetap menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dibangun di atas zona hijau dengan mengabaikan aspek prudential (kehati-hatian), karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersikukuh tidak akan menerbitkan sertifikat. Tanpa terasa mereka menyimpan bom waktu yang siap meledak.
Tata kelola spasial kota
yang sepele sudah terlanjur membabat lahan-lahan strategis di Batam, yang kini
tersisa hanyalah lahan tidur yang dikuasai mafia tanah. Fenomena lompatan
quantum yang menegaskan pesatnya proses pembangunan kota Batam ternyata
menyelipkan anomali sosial yang absurd. Kawasan industri yang sejatinya menjadi
“ruh” Batam telah termajinalkan di antara ribuan pemukiman.
Problema sosial dari
sesaknya populasi penduduk dan arus pendatang yang tak terkendali menciptakan
area kumuh (slum) yang disebut rumah liar (ruli). Otorita Batam (OB) memang
tidak mungkin memagari pulau seluas 415 M2 ini untuk memasifkan batas-batas
kawasan bonded Batam, sekaligus untuk mengantisipasi munculnya pemukiman liar.
Namun terasa ganjil bila gagasan untuk membatasi arus pendatang berasal dari Pemko Batam. Munculnya ruli di lahan-lahan tidur dan hampir lepas kontrol adalah problematika laten di Batam sebagai kombinasi dari kepentingan politik dan bisnis serta pembangkangan kolektif yang sewaktu-waktu menarik simpul humanis sebagai perisai.
Namun terasa ganjil bila gagasan untuk membatasi arus pendatang berasal dari Pemko Batam. Munculnya ruli di lahan-lahan tidur dan hampir lepas kontrol adalah problematika laten di Batam sebagai kombinasi dari kepentingan politik dan bisnis serta pembangkangan kolektif yang sewaktu-waktu menarik simpul humanis sebagai perisai.
Anomali lainnya adalah
soal regulasi kewenangan agraria yang menindas spirit Otonomi Daerah.
Pemerintah Kota selaku instrumen regulator terhadap roda pemerintahan di daerah
sama sekali tidak memiliki kewenangan atas tanah. Semuanya berada dalam kendali
Badan Pengusahaan (BP) Batam yang tak lain adalah jelmaan dari OB.
Sementara Peraturan Pemerintah (PP) yang dijanjikan untuk meredakan perang urat syaraf antara dua lembaga ini nyaris tak diketahui rimbanya. Normalisasi hubungan Pemko – OB berjalan begitu saja menyusul tukar menukar pejabat antarlembaga, meski beberapa pengamat menilai hal itu lebih menyerupai api dalam sekam.
Sementara Peraturan Pemerintah (PP) yang dijanjikan untuk meredakan perang urat syaraf antara dua lembaga ini nyaris tak diketahui rimbanya. Normalisasi hubungan Pemko – OB berjalan begitu saja menyusul tukar menukar pejabat antarlembaga, meski beberapa pengamat menilai hal itu lebih menyerupai api dalam sekam.
Gugus Rempang dan Galang
yang tersia-siakan begitu saja setelah ratusan miliar untuk enam jembatan megah
yang digagas Habibie sebagai bangunan investasi terpadu,adalah salah satu ekses
negatif dari terlalu ikut campurnya pusat melalui OB untuk menyerap potensi
Batam. Sebagai catatan ada ratusan triliun rupiah asset OB yang digadang-gadang
sebagai milik Departemen Keuangan yang semestinya bisa dilimpahkan ke daerah.
Boleh dikata, ketika
daerah otonom lainnya begitu bebas mengekspresikan dirinya dalam porsi besar
yang diatur dalam UU Otda, Batam justru seperti mengemis agar bisa mengurus
dirinya sendiri. Berbekal Keputusan Presiden RI Nomor 41 tahun 1973, Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam sedikitpun tak bergeming, meski secara
hirarki perundang-undangan Kepres tersebut otomatis teranulir oleh UU Nomor 53
tahun 1999 yang mengamanatkan: Seharusnya satu-satunya pemegang otonomi di
daerah Kota Batam, adalah Pemerintah Kota Batam.
UU 53 memuat pasal karet
(Pasal 21) yang menyebutkan OB boleh diikutsertakan dalam pelaksanaan
pembangunan Kota Batam yang kemudian akan diatur dengan PP. PP siluman itu
sendiri sampai sekarang tidak diterbitkan dan kemudian ditafsirkan sepihak oleh
pemerintah pusat. Masih banyak anomali dalam pergulatan regulasi dan politik
dalam “membentuk” Batam.
Apalagi sejak era reformasi, Batam sempat terombang-ambing karena dianggap warisan Orde Baru, dirunyamkan oleh tidak tegasnya aturan, over regulation, dan kebijakan ekonomi yang sentralistik. Pemko Batam yang sejatinya mendapat hak limpahan kewenangan pasca otonomi secara internal, pun masih berkutat kepada keandalan sistem sumber daya, mental birokrat yang korup dan tata kelola keuangan yang cenderung boros.
Apalagi sejak era reformasi, Batam sempat terombang-ambing karena dianggap warisan Orde Baru, dirunyamkan oleh tidak tegasnya aturan, over regulation, dan kebijakan ekonomi yang sentralistik. Pemko Batam yang sejatinya mendapat hak limpahan kewenangan pasca otonomi secara internal, pun masih berkutat kepada keandalan sistem sumber daya, mental birokrat yang korup dan tata kelola keuangan yang cenderung boros.
Batam terjebak dalam
sebuah paradoks antara meme¬nangkan hati rakyat atau masuk ke dalam pusaran
idealis ala Habibie untuk membangun pusat peradaban industrialisasi yang
sebenarnya beraroma kapitalis. ~MNT
Komentar
Posting Komentar