RUNTUHNYA LEGITIMASI MITOS DI TANAH MELAYU (SATU ABAD SEBELUM REVOLUSI PERANCIS)
Ilustrasi: conceptodefinicion.de |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ide – ide lama yang berkait dengan tradisi, hierarki monarki, aristokrat serta dominasi agama tertentu digulingkan secara tiba – tiba lalu diganti dengan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan).
Revolusi Perancis adalah suatu periode radikal dan pergolakan politik yang berdampak abadi terhadap sejarah Perancis bahkan Eropa semuanya. Monarki absolut yang telah memerintah Perancis selama berabad – abad runtuh dalam proses sengit tiga tahun.
Rakyat Perancis
mengalami transformasi sosial politik yang epik. Feodalisme, aristokrasi dan
monarki dilumpuhkan oleh politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan –
jalan dan oleh masyarakat penanam sayur di pedesaan. Semangat dari Revolusi
Perancis adalah membuat perubahan radikal atas sistem pemerintahan usang.
Ketidakpuasan tiada ampun terhadap sistem Ancien Regime yang beku kaku dan menindas. Louis XVI bersama ribuan pengikutnya dieksekusi mati pada 1793 setelah sebuah negara Republik Perancis berdiri setahun sebelumnya. Lepas dari mulut harimau, Perancis meregang di mulut buaya.
Ketidakpuasan tiada ampun terhadap sistem Ancien Regime yang beku kaku dan menindas. Louis XVI bersama ribuan pengikutnya dieksekusi mati pada 1793 setelah sebuah negara Republik Perancis berdiri setahun sebelumnya. Lepas dari mulut harimau, Perancis meregang di mulut buaya.
Liberte, egalite,
fraternite di masa – masa
awal tampak seperti dusta besar guna menggelegakkan darah rakyat untuk jadi
pion – pion revolusi. Lalu pemerintahan teror pun terjadi di bawah Diktator
Maximilien Roberspkierre, 40 ribu rakyat Perancis meregang nyawa.
Roberspierre pun dimatikan dengan cara tidak hormat, pada 1799 ia diganti oleh Napoleon Bonaparte, seorang mantan perwira altileri yang menonjol. Setelah itu apakah rakyat Perancis akan baik – baik saja? Tidak!Kekuasaan hanya bersalinmuka, dari monarki absolut yang memuakkan menjadi republik demokratik sekuler radikal yang lebih otoriter dan termiliteristik.
Roberspierre pun dimatikan dengan cara tidak hormat, pada 1799 ia diganti oleh Napoleon Bonaparte, seorang mantan perwira altileri yang menonjol. Setelah itu apakah rakyat Perancis akan baik – baik saja? Tidak!Kekuasaan hanya bersalinmuka, dari monarki absolut yang memuakkan menjadi republik demokratik sekuler radikal yang lebih otoriter dan termiliteristik.
***
Seabad sebelumnya, tepat
100 tahun, di belahan bumi yang lain, di Kota Tinggi, Johorseorang raja pongah
dan kejam mendapatkan ajalnya dengan cara ditikam pada tahun 1699. Ia adalah
raja Melayu terakhir yang memerintah tanah Semenanjung dari trah Sang Sapurba.
Sang Sapurba sendiri adalah seorang kelana yang diuntungkan oleh mitos
keagungan Iskandar Zulkarnain.
Sang Sapurba dan anak
keturunannya mengenggagm legitimasi berabad – abad bagi imperium Melayu atas
dasar perspektif imajiner dan peta konstalasi kosmos yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Tiada perintah dari langit, tidak pula ada ayat – ayat
yang diturunkan bahwa keturunan Iskandar Zulkarnain berhak menjadi raja, dan
memerintah di mana pun di muka bumi ini.
Sedangkan otentifikasi, benar tidaknya ia keturunan Zulkarnain adalah hal lain yang lebih memusingkan. Jika benar demikian, mereka jelas orang asing, tidak berdarah Melayu, tidak ada bedanya dengan bangsa Eropa yang datang kemudian (Iskandar Zulkarnain untuk sementara diyakini sebagai Alexander the Great, Raja Macedonia dekat Yunani).
Sedangkan otentifikasi, benar tidaknya ia keturunan Zulkarnain adalah hal lain yang lebih memusingkan. Jika benar demikian, mereka jelas orang asing, tidak berdarah Melayu, tidak ada bedanya dengan bangsa Eropa yang datang kemudian (Iskandar Zulkarnain untuk sementara diyakini sebagai Alexander the Great, Raja Macedonia dekat Yunani).
Setali tiga uang, raja –
raja Eropa pula, membuat rekaan – rekaan imajiner sebagai keturunan langit,
titisan dewa – dewi. Lalu rakyat pun percaya kemudian menyerahkan daulat.
Sebuah mitologi tidak lengkap tanpa alasan pembenaran yang dramatik. Sebelum
mendapat legitimasi atas mitos – mitos yang ditegakkan, calon raja harus
membuktikan diri sebagai sakti mandraguna melebihi jelata. Yang mangkat di Kota
Tinggi, Johor itu adalah Sultan Mahmud Syah II.
Jika kita abai membaca sejarah, ditambah masih menjangkitnya virus feodalisme warisan moyang kita, lantas nama Sultan Mahmud Syah II akan terdengar harum mewangi, aromanya mampu membangkitkan dahaga romantisme akan keagungan Melayu masa silam.
Pada 1695, Alexander Hemilton seorang kapten kapal Skotlandia dibuat pucat pasi, lantaran pistol yang ia hadiahkan kepada penguasa Johor itu, diuji oleh Mahmud dengan menembakkannya ke bahu pengawalnya sendiri.
Jika kita abai membaca sejarah, ditambah masih menjangkitnya virus feodalisme warisan moyang kita, lantas nama Sultan Mahmud Syah II akan terdengar harum mewangi, aromanya mampu membangkitkan dahaga romantisme akan keagungan Melayu masa silam.
Pada 1695, Alexander Hemilton seorang kapten kapal Skotlandia dibuat pucat pasi, lantaran pistol yang ia hadiahkan kepada penguasa Johor itu, diuji oleh Mahmud dengan menembakkannya ke bahu pengawalnya sendiri.
Tidak hanya jahat, dalam
menegakkan kesombongannya sebagai raja, Sultan Mahmud bertabiat seperti orang
lumpuh, kemana – mana harus ditandu atau dijulang. Kekejaman Sultan Mahmud
sedang ada di puncak, begitu ia tega membelah perut Wan Anom yang sedang hamil
tua, hanya gara – gara seulas nangka. Mahmud sedikitpun tidak memandang Laksamana
Megat Sri Rama yang berjasa atas negerinya.
Peristiwa naas itu terjadi kala Megat Sri Rama, suami Wan Anom sedang meronda di perairan Riau. Sri Rama amat murka atas perbuatan keji raja kepada istri dan anak dalam kandungannya. Ia menyusun siasat untuk membunuh raja. Saat Sultan Mahmud sedang di atas julang, Sri Rama menghadang iringan sultan lalu menikam Mahmud sekuat hati.
Peristiwa naas itu terjadi kala Megat Sri Rama, suami Wan Anom sedang meronda di perairan Riau. Sri Rama amat murka atas perbuatan keji raja kepada istri dan anak dalam kandungannya. Ia menyusun siasat untuk membunuh raja. Saat Sultan Mahmud sedang di atas julang, Sri Rama menghadang iringan sultan lalu menikam Mahmud sekuat hati.
Sang raja dikenang
sebagai Sultan Mahmud Mangkat di Julang. Sri Rama mematahkan mitos tentang
doktrin penghambaan dan penyerahan diri yang sempurna kepada sang raja, laksana
Hang Tuah. Sri Rama adalah Hang Jebat yang lain di masa yang berbeda.
Sebelum Sri Rama, Sang Rajuna Tapa juga pernah menuntut balas atas kekejaman Raja Singapura, Parameswara. Raja terakhir Kerajaan Singapura ini memenggal kepala puteri Sang Rajuna Tapa, istrinya sendiri, lalu ditancapkan di tiang dekat ujung pasar atas tuduhan main serong dengan lelaki lain.
Sebelum Sri Rama, Sang Rajuna Tapa juga pernah menuntut balas atas kekejaman Raja Singapura, Parameswara. Raja terakhir Kerajaan Singapura ini memenggal kepala puteri Sang Rajuna Tapa, istrinya sendiri, lalu ditancapkan di tiang dekat ujung pasar atas tuduhan main serong dengan lelaki lain.
Pembalasan dilakukan
dengan mengundang bala tentara Majapahit hingga Parameswara lari terbirit –
birit meninggalkan istana, bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Melayu
Singapura. Sayangnya, dalam rangka memuluskan balas dendam pribadi, Sri Rama
terlibat konspirasi tingkat tinggi untuk menggulingkan kekuasaan. Bendahara
Paduka Raja Tun Abdul Jalil adalah orang yang sangat diuntungkan dalam
persengkongkolan ini.
Sri Rama mati muntah darah karena disumpah Sultan Mahmud tak lama setelah ditikam, tapi Tun Abdul Jalil dinobatkan menjadi raja bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Abdul Jalil Riayat Syah adalah “Napoleon Bonaparte Melayu” untuk seratus tahun sebelumnya. Napoleon adalah pengganti monarki absolut atas raja – raja Perancis yang legitimasinya diselimuti mitos - mitos, sedangkan Abdul Jalil adalah pengganti daulat atas anak keturunan Sang Sapurbayang juga amat kental mitos – mitosnya.
Sri Rama mati muntah darah karena disumpah Sultan Mahmud tak lama setelah ditikam, tapi Tun Abdul Jalil dinobatkan menjadi raja bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Abdul Jalil Riayat Syah adalah “Napoleon Bonaparte Melayu” untuk seratus tahun sebelumnya. Napoleon adalah pengganti monarki absolut atas raja – raja Perancis yang legitimasinya diselimuti mitos - mitos, sedangkan Abdul Jalil adalah pengganti daulat atas anak keturunan Sang Sapurbayang juga amat kental mitos – mitosnya.
Napoleon memang
menggantikan sistem pemerintahan sehingga tampak egaliter, tapi sifat haus
kekuasaannya lebih parah. Bahkan ia menggambar ulang peta Eropa dan berhasrat
menguasai dunia sambil meneruskan dinasti keturunan.
Sementara Abdul Jalil tetap mempertahankan monarki feodalistik, di samping tidak perlu melakukan perubahan apapun, ia juga tidak melihat contoh sistem pemerintahan lain di luar monarki atau kebangsawanan. Maksud tulisan ini bukan hendak mendiskreditkan para sultan, yang sekian lama kita imani sebagai warisan keagungan sejarah imperium Melayu.
Sementara Abdul Jalil tetap mempertahankan monarki feodalistik, di samping tidak perlu melakukan perubahan apapun, ia juga tidak melihat contoh sistem pemerintahan lain di luar monarki atau kebangsawanan. Maksud tulisan ini bukan hendak mendiskreditkan para sultan, yang sekian lama kita imani sebagai warisan keagungan sejarah imperium Melayu.
Tapi sejarah telah
terlanjur ditulis atas tinjauan menara gading. Sejarah Melayu maupun sejarah –
sejarah bangsa lainnnya terbiar untuk hanya dibuat oleh orang – orang dalam
lingkaran istana. Jelata selalu luput dari keagungan masa lalu. Peran rakyat
dalam sejarah hanya sebatas spesies yang dibodohi - bodohi agar mau berperang,
menggadai nyawa semata - mata untuk membela sang raja.
Feodalisme tidak selamanya buruk, sisi positifnya juga ada karena jelata butuh pemimpin, butuh aturan dan sistem. Raja – raja Melayu juga tidak semuanya zalim. Ada yang memerintah dengan akal budi, adil dan alim.
Namun, jika kita ingin merawat tamadun Melayu melalui perspektif Islam – dari idiom: Melayu identik dengan Islam - sebaiknya mulailah berhenti memuja sultan. Karena feodalisme dalam bentuk apapun tidak pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah dan para Kalifah.
Feodalisme tidak selamanya buruk, sisi positifnya juga ada karena jelata butuh pemimpin, butuh aturan dan sistem. Raja – raja Melayu juga tidak semuanya zalim. Ada yang memerintah dengan akal budi, adil dan alim.
Namun, jika kita ingin merawat tamadun Melayu melalui perspektif Islam – dari idiom: Melayu identik dengan Islam - sebaiknya mulailah berhenti memuja sultan. Karena feodalisme dalam bentuk apapun tidak pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah dan para Kalifah.
Nabi Muhammad adalah
pemimpin besar dan manusia suci yang sangat berpengaruh di atas muka bumi, tapi
ia duduk bersila dan makan satu nampan bersama sahabat – sahabatnya. Nabi Isa,
Budha Gautama, Kong Fu Tze dan banyak pemimpin agama, tidak berleha di
singgasana sembari berkhotbah, tapi berbaur bersama pengikutnya untuk duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi.
“Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah” ungkapan terkenal dari Hang Jebat ini sekilas terkesan heroik dan revolusioner, sayang kalimat “raja adil raja disembah” itu justru sangat hegemonik dan musyrik karena menyetarakan raja dengan Tuhan.
Seperti tidak ada cara lain, dan itu tidak hanya Melayu, keagungan sejarah masa lalu harus bergelayut pada jejak raja – raja berupa pusara, puing – puing istana, regalia dan pernak pernik istana sampai perigi tempat mandi. Sejarah pada akhirnya terpaksa memaafkan raja – raja zalim untuk sebuah hajat besar: mengagungkan tamadun Melayu.
“Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah” ungkapan terkenal dari Hang Jebat ini sekilas terkesan heroik dan revolusioner, sayang kalimat “raja adil raja disembah” itu justru sangat hegemonik dan musyrik karena menyetarakan raja dengan Tuhan.
Seperti tidak ada cara lain, dan itu tidak hanya Melayu, keagungan sejarah masa lalu harus bergelayut pada jejak raja – raja berupa pusara, puing – puing istana, regalia dan pernak pernik istana sampai perigi tempat mandi. Sejarah pada akhirnya terpaksa memaafkan raja – raja zalim untuk sebuah hajat besar: mengagungkan tamadun Melayu.
Meski kita tahu beberapa
di antara mereka bahkan bermufakat dengan kompeni untuk memerangi bangsa
sendiri. Sementara kita budak – budak Melayu hari ini mengalami krisis percaya
diri. Tidak memiliki kemegahan menjadi Melayu jika tak memakai tanjak dan keris
di pinggang sebagai sultan.
Bahkan beberapa orang dari negeri seberang, yang mengumumkan diri sebagai zuriat atau pemangku adat tampak dielu – elukan, diundang – undang pantang ada acara, gelar – gelar “Datok” sudah serupa dengan honoris causa yang beranak pinak. Ketua – ketua lembaga adat berpenampilanlaksana raja – raja dan menggemari seremonial penabalan.
Bahkan beberapa orang dari negeri seberang, yang mengumumkan diri sebagai zuriat atau pemangku adat tampak dielu – elukan, diundang – undang pantang ada acara, gelar – gelar “Datok” sudah serupa dengan honoris causa yang beranak pinak. Ketua – ketua lembaga adat berpenampilanlaksana raja – raja dan menggemari seremonial penabalan.
Pada akhirnya kita
seperti hanya melap – lap kebudayaan lama sampai mengkilap untuk dibanggakan
tapi selalu lupa bagaimana mewujudkan eksistensi Melayu pada tingkatan
substansial. Sedangkan Pramoedya Ananta Toer yang berasal dari kelas priyayi
merasa harus meninggalkan kampung halamannya.
Melupakan sedapat mungkin bahasa Jawa yang ia anggap berstruktur feodal untuk belajar bahasa Melayu yang dipandang sangat egaliter. Ironisnya tabiat sebagian Melayu justru menyuburkan feodalisme atas nama pelestarian budaya dan marwah. ~MNT
Melupakan sedapat mungkin bahasa Jawa yang ia anggap berstruktur feodal untuk belajar bahasa Melayu yang dipandang sangat egaliter. Ironisnya tabiat sebagian Melayu justru menyuburkan feodalisme atas nama pelestarian budaya dan marwah. ~MNT
Komentar
Posting Komentar