THE STORY OF SUKU LAUT
Ilsutrasi: goog;e.image.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Mereka tinggal di atas
ombak. Tiap hari mengail ikan untuk dimakan dan ditukar rokok atau gula. Hari
esok mereka selalu sama dengan orang-orang sebelum mereka yang sesuku, beratus
bahkan beribu tahun lampau.
Beberapa di antaranya
ada yang menetap di darat, meninggalkan sampan Kajang, tempat mereka beranak
pinak. Tapi orang-orang tetap saja menyebut mereka sebagai Suku Laut, sebuah
entitas masyarakat asli yang sudah menetap di perairan Batam dan Kepulauan
Riau, sejak lama sekali.
Masyarakat Suku Laut merupakan salah satu suku primitif di Indonesia. Mereka tak hirau dengan roda zaman, yang kadang-kadang mereduksi eksistensi mereka. Orang-orang Suku Laut amat membatasi diri dengan dunia luar. Mereka lebih baik meminggir ke pulau-pulau terpencil atau kembali menetap di laut daripada bercampur dengan masyarakat modern.
Masyarakat Suku Laut merupakan salah satu suku primitif di Indonesia. Mereka tak hirau dengan roda zaman, yang kadang-kadang mereduksi eksistensi mereka. Orang-orang Suku Laut amat membatasi diri dengan dunia luar. Mereka lebih baik meminggir ke pulau-pulau terpencil atau kembali menetap di laut daripada bercampur dengan masyarakat modern.
Kehidupan mereka
sehari-hari berjalan datar, tidak maju, tidak mundur. Mereka akan tampak sibuk
misalnya saja ketika membuat sampan-sampan baru untuk anak lelaki yang mulai
memasuki usia pubertas.
Di batas itu, lepas
sudah peran orang tua. Remaja tanggung dari klan Suku Laut harus secepatnya
menyunting isteri untuk hidup satu sampan berpenutup seperti atap rumah yang
disebut Kajang. Begitulah siklus hidup masyarakat Suku Laut. Anak-anak Suku
Laut harus mandiri di usia sedini mungkin, sehingga tidak ada kosa kata yang
disebut Sekolah.
Rumah-rumah warga Suku
Laut primitif yang mereka sebut Kajang itu berukuran seluas tiga meter persegi
dengan tinggi tidak sampai satu meter. Selain tempat mencari ikan, perahu unik
ini sebenarnya adalah tempat tinggal selama hidup. Di “rumah” sempit itulah
mereka melakukan aktivitas sehari-hari, mulai bayi sampai menikah dan beranak.
Di atas Kajang
tersebutlah anak-anak dibesarkan, dalam kondisi bercampur aduk. Baru saja
menginjak remaja, mereka segera dikawinkan dan hidup terpisah dari orang tua.
Mereka harus mandiri di usia dini bersama pasangan hidup sendiri-sendiri, untuk
kemudian tumbuh dewasa, persis orang tua mereka. Sebuah siklus yang sangat
stagnan dari sisi roda zaman. ~MNT
Komentar
Posting Komentar