MEISTERSTADT DAN HABIBIE KEMBALI
Pollux (F: ist) |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Satu dasawarsa silam,
nafas Prof DR Ing Burhanuddin Yusuf Habibie M. Eng sesak. Dadanya terimpit
godam, matanya membulat lebih besar dari biasanya. Dari kacamata visionernya,
Batam jauh melenceng menjadi entitas aglomerasi yang carut marut, Batam yang tidak
estetis, tong sampah raksasa dan kampung besar yang sedang berpura - pura
menjadi megapolitan. Batam laksana emas polesan yang turun derajat jadi loyang
kusam.
“Batam jadi kota ruko!,”
keluh Sang Mr Crack begitu ia berkunjung lagi ke kota ini. Tidak sebagai Ketua
Otorita, tapi lebih dari itu. Ia mantan Presiden Indonesia yang terluka. Sejauh
ia memandang, sejauh itu pula mata bulatnya menumbuk hamparan ruko berbaris
memagari bahu jalan apa saja.
Beberapa tahun sebelumnya, ketika menjabat sebagai Ketua Otorita Batam (OB), ia sudah selesai mendesain masterplan Batam menjadi kota modern untuk memikat dunia. Menjadi pusat aglomerasi industrialisasi yang tidak sembarangan orang bisa masuk.
Habibie mencanangkan
Batam sebagai Captive Market dan etalase ekonomi Indonesia
yang paling mewah dari semua kota di Indonesia. Lalu kemudian ia seperti
dikhianati oleh lembaga otoritas yang pernah ia pimpin dan visinya dilecehkan
oleh sekelompok pengembang. Tanah emas Batam yang secuil itu telah dijual murah
untuk mendirikan bangunan yang ala kadarnya.
Dalam sebuah bincang
khusus dengan mendiang JE Habibie, adik kandung Habibie sempena penulisan buku
36 Tahun Otorita Batam, Fanny Habibie yang sempat menjabat Ketua OB selama
Maret - Juli 1998 itu secara off the record mengaku pernah berpesan kepada
salah seorang pejabat OB, “Jika main – main dengan masterplan Batam,
jual – jual tanah sembarangan, i’ll crack your neck!”.
Namun gertakan mendiang
tak membuat ciut oknum OB, tanah Batam sudah pun kritis hingga membabat zona hijau.
Belum lagi Teori Balon Habibie yang juga gagal gara – gara gugus Rempang Galang
yang tak kunjung dibangun untuk menampung limpahan ekonomi agar mainland Batam
tidak penuh.
Padahal ia telah menancapkan masterpiece pertamanya di kota ini dalam wujud enam jembatan megah di wilayah itu. Untuk ukuran Habibie yang sangat perfeksionis sekaligus teknokrat kapitalis sejati, Batam mengalami disorientasi.
Padahal ia telah menancapkan masterpiece pertamanya di kota ini dalam wujud enam jembatan megah di wilayah itu. Untuk ukuran Habibie yang sangat perfeksionis sekaligus teknokrat kapitalis sejati, Batam mengalami disorientasi.
Tapi tidak saat ini.
Mengobati sakit hatinya, Habibie kembali lagi ke Batam untuk seolah-olah ingin
menunjukkan kepada khalayak: Batam seharusnya semewah ini. Habibie tidak
sendiri, ia menggandeng putera mahkotanya, Dr Ing Ilham Akbar Habibie,
MBA. Like father like son, keduanya menggarap sebuah mahakarya
bernama Meisterstadt.
Meisterstadt berasal
dari bahasa Jerman, meister berarti master dan stadt bermakna kota. “Artinya,
kota dengan standar tertinggi,” kata Ilham Habibie selaku Komisioner Pollux
Habibie International pada acara Signing Ceremony proyek ini.
Meisterstadt adalah kota
dengan standar internasional dan terintegrasi. Merupakan sebuah kawasan kota
mandiri yang dibangun dengan konsep one stop living. Habibie menggandeng Pollux
Properties Singapura. Pollux adalah sebuah label yang cukup mencengangkan dalam
dunia properti Asia.
Bersama Pollux, Meisterstadt
Habibie akan mencakar langit Batam lebih dari ekspekstasi semua orang. Pollux
adalah nama bintang raksasa berwarna jingga yang berjarak 34 tahun cahaya dari
bumi. Bintang ini berada pada rasi Gemini, memiliki radius lebih besar delapan
kali dari Matahari atau sekitar 5,564,000 kilometer. Tingkat kecemerlangan (luminosity)
– nya sebesar 32 kali yang artinya bintang ini 32 kali lebih terang daripada
matahari. Matahari adalah ruko – ruko itu.
****
Di sudut lain, di
kawasan slum, orang – orang pinggiran lintang pukang mendirikan gubuk di atas
tanah terlarang. Mereka adalah pendatang yang tidak beruntung. Eksistensi
mereka diperdebatkan antara sisi humanis dan pelanggaran hukum.
Lama – lama mereka
mendapat ganti rugi, lalu pindah lagi ke kawasan terlarang, kemudian kembali
merayakan uang ganti rugi (disebut juga uang paku), begitu seterusnya. Yang
tobat, pindah ke Kavling Siap Bangun (KSB) sebagaimana seharusnya.
Keturunan dari generasi
yang sudah lama menetap di Batam bertahan di Kampung Tua yang sakral. Kampung
Tua memiliki sempadan yang imajiner dengan lahan milik pemegang otoritas.
Sehingga beberapa kelompok pendatang baru, ikut berlindung di Kampung Tua kemudian
tanpa usul periksa mendapat labelisasi: Melayu atau Tempatan.
Ada anekdot lucu soal
tanah ulayat. Hanya bermodalkan sebuah ketapel dan empat buah biji nangka,
seseorang sudah mendapat de facto atas tanah. Beberapa tahun kemudian di
hadapan investor ia tinggal membusungkan dada dan bersabda: “tanah beta
batasnya dari pokok nangka sini ke pokok nangka ujung sana”. Sejauh ia
mengokang ketapel sejauh itu pula ganti rugi yang akan ia klaim.
Fenomena Batam secara
utuh seragam dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia sebagai tempat
bercokolnya para kapitalis, keterdesakan ekonomi akibat tingginya urbanisasi,
pertumbuhan kawasan kumuh (slum) serta kekacauan tata ruang dan
ketidaksinambungan ekologi kota.
Globalisasi yang
diterapkan di Batam dalam empat dasawarsa terakhir menjadi dalih untuk tidak
memberi akses lebih banyak kepada kepentingan publik. Implikasinya terhadap
spasial pembangunan kota adalah tata ruang yang sangat memihak kekuatan dominan
dalam hal ini pemilik modal.
Kota Batam hari ini telah
menjadi pusat aglomerasi milik segelintir orang. Menjamurnya konsep
perumahan regency atau cluster system adalah
sedikit upaya untuk menghindari tetek bengek kaum marjinal sekaligus
membersihkan aroma kampung dari orang-orang tempatan yang telah menyumbangkan
tanah moyangnya untuk itu.
Ketidakadilan alokasi
sumber daya yang penting bagi rakyat telah menimbulkan kontradiksi di Kota
Batam. Pergeseran makna dari public goods menjadi private goods sebagai akibat
dari keniscayaan laju sejarah neoliberalisme menjadi pendorong kontradiksi di
tengah masyarakat.
Salah satunya yang
paling kentara adalah penggusuran rumah liar dan kampung-kampung kumuh oleh
lembaga otoritas dengan perangkat aparatus-aparatusnya untuk dipersembahkan
kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan pembangunan dan estetika.
Sesungguhnya dalam
cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh
lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam
prinsip kesetaraan (equal opportunity).
Sejak awal seharusnya orang-orang Batam sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan itu ternyata tidak mampu membuka kebuntuan akses bahkan justru menghambat masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri. Logika trickle down effect sangat berperan dalam sistem pengalokasian lahan di Batam.
Sejak awal seharusnya orang-orang Batam sebagai penyumbang sejarah perlu wanti-wanti ketika rumus-rumus pembangunan dan kerumitan grafik ekonometri yang dibanggakan itu ternyata tidak mampu membuka kebuntuan akses bahkan justru menghambat masyarakat untuk menikmati kotanya sendiri. Logika trickle down effect sangat berperan dalam sistem pengalokasian lahan di Batam.
Ratusan ribu hektar
tanah telah diserahkan kepada pengembang hanya dengan membayar Uang Wajib
Tahunan Otorita (UWTO) dan sedikit bisik - bisik dengan orang dalam.
Selanjutnya pengembang akan memiliki kuasa penuh atas tanah murah tersebut
untuk kemudian menjualnya dengan untung berlipat – lipat kepada
masyarakat.
Padahal jika sistem
lembaga pemilik otoritas tanah ini tidak dirasuki cacat logika kapitalisme,
lahan – lahan untuk perumahan bisa diserahkan langsung kepada masyarakat luas
melalui standard dan regulasi tertentu.
Bukankah nenek moyang
kita pernah hidup di zaman megalitikum yang sama. Tradisi megalitik yang kita
warisi telah meniscayakan semua orang punya kemampuan dan citarasa yang sama
akan sebuah peradaban rancang bangun. Tapi citarasa estetika kota ini telah
dipercayakan seutuhnya kepada kapitalis pengembang dan saksikanlah hasilnya. Di
atas langit masih ada langit. Di atas barisan pendiri ruko masih ada Habibie.
~MNT
Komentar
Posting Komentar