Hinterland Batam, Antara Kegembiraan Sejarah dan Kemuraman Senjakala
Pelantar Belakang Padang (F: Pemko Batam) |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sebelum Batam menjadi etalase utama ekonomi Indonesia di Selat Philips - yang menghubungkan Indonesia dan Singapura – warga pesisir melingkupi sejarah yang bertolak belakang dengan kekinian.Dalam bentang waktu antara tahun 1920-an sampai tahun 1970–an ada tiga titik utama pesisir Batam, dan secara dramatis ketiganya kini menjadi hinterland. Mereka adalah: Pulau Sambu, Belakang Padang, dan Pulau Buluh.
Sebelum Batam menjadi etalase utama ekonomi Indonesia di Selat Philips - yang menghubungkan Indonesia dan Singapura – warga pesisir melingkupi sejarah yang bertolak belakang dengan kekinian.Dalam bentang waktu antara tahun 1920-an sampai tahun 1970–an ada tiga titik utama pesisir Batam, dan secara dramatis ketiganya kini menjadi hinterland. Mereka adalah: Pulau Sambu, Belakang Padang, dan Pulau Buluh.
Di ketiga wilayah ini masih cukup
banyak ditemukan bangunan – bangunan tua (heritage) zaman kolonial
Belanda dan Jepang. Hal ini sekaligus menjadi bukti empirik bahwa ketiganya
adalah gugus pulau yang nyaris tidak terimbas paradoks
industrialisasi Batam. Lihat Batam yang beberapa puingheritage-nya sudah
punah karena digilas mesin industrialisasi.
Sejak era 1940 – an, Sambu
sudah berkembang menjadi bandar yang ramai. Wilayah ini adalahstorage tank
oil oleh perusahaan perminyakan Royal Dutch Shell sejak tahun 1927
sebelum berganti kepemilikan menjadi Pertamina. Itu sebabnya di sana banyak
ditemukan bangunan tua dan infrastruktur peninggalan sejarah perminyakan tanah
air. Di Sambu terdapat situs Tangga Seribu, tangki – tangki minyak raksasa,
wisma, guest house, pasar dan sekolah.
Sedangkan Belakang Padang adalah
ibukota kecamatan sejak Indonesia merdeka. Di Pulau Belakang Padang terdapat
Asrama Border Police yang masih utuh, Gedung Pertemuan Catur Sakti, dapur umum,
barak prajurit, empat buah tangki penampungan air dan bekas lapangan tenis.
Pada tumpukan genteng bekas pemugaran Kantor Polsek Belakang Padang tercetak
merk Guichard Carvin & Co (Marseille Standar France) sebuah perusahaan
pembuatan genteng dari Prancis yang telah berdiri sejak tahun 1855.
Selain itu juga terdapat Gedung Pos
Angkatan Laut (AL) Pulau Sambu yang diperkirakan sebagai satu-satunya bangunan
yang memanjang secara vertikal pada masa kolonial. Pos AL Pulau Sambu, Kantor
Imigrasi Kelas II Belakang Padang, bekas Kantor Camat Belakang Padang,
Perumahan Bea Cukai, Komplek AL dan (kecuali) Gedung Nasional semuanya terlihat
ringkih oleh usia yang sangat tua.
Pulau Buluh dulu dikenal
sebagai Distric van Batam, adalah wilayah administratif setingkat
kecamatan pada zaman kolonial yang dipimpin seorang Amir. Di masa lalu ia
disebut – sebut sebagai bandar pesisir tradisional (setelah sebelumnya Kerajaan
Riau Lingga meletakkan Nongsa sebagai pusat pemerintahan kerajaan bagi Pulau
Batam dan sekitarnya – abad XIX). Pulau Buluh adalah sebuah tepian strategis
tempat lalu lintas kapal dari Singapura dan Johor ke Pulau Bintan. Ia adalah
sentra dagang, di mana setiap pekan para pedagang dan penghulu di pulau-pulau
sekitar membeli kebutuhan sehari-hari dari wilayah ini.
Buku berjudul Potret
Kehidupan Masyarakat Hinterland Batam, yang ditulis Ade Parlaungan
Nasution - seorang akedemisi dan aktivis yang lasak – ini menyuguhkan fakta
kekinian tentang potret hinterlandBatam. Buku ini dipadati dengan
tinjuan akademis dan bukti empiris sebagai hasil riset yang dilakukan oleh
Penulis untuk mengatakan bahwa banyak faktor X yang dibiarkan sediakala,
sehingga pesisir Batam hari ini seolah menjadi potret ketertinggalan yang
abadi. Bahwa kegembiraan yang dibangun oleh sejarah masa lalu telah padam, dan
tenggelam dalam gemerlap megapolitan Batam.
Batam adalah pulau yang dibangun
oleh kegairahan kapitalistik bermula dari oil base Pertamina,
laluentrepot particular, bonded zone, terakhir Free Trade
Zone (FTZ) yang secara keseluruhan adalah guna menghidangkan tanah
Batam sebagai lokus investasi asing dan swasta domestik di mana penduduk yang
ada atau yang akan datang hanyalah bagian dari faktor produksi (labor
as a factor of production). Sehingga dari perspektif ini kemajuan
Batam tidak berimbas signifikan bahkan hampir nihil terhadap perkembangan daerah
– daerah hinterland di sekelilingnya.
Seperti yang dijelaskan
Ade, gap yang tercipta antara hinterland dengan mainland Batam
didorong oleh faktor – faktor dari dalam maupun luar. Kultur yang terbentuk
dalam masyarakat pulau yang sudah dimanjakan oleh alam sedikit banyaknya telah
membentuk tabiat kolektif sebagian penduduknya untuk menjadi kurang struggle serta
membawa kepada sikap hidup fatalistik.
Sedangkan Batam sendiri terlihat
sangat congkak dan kurang welcome kepada warga pulau, kecuali
sudah memenuhi syarat untuk menjadi faktor produksi dengan standar upah yang
justru tampak menyedihkan oleh kalangan nelayan tangkap: mereka bisa
mendapatkan upah sebesar UMK Batam bahkan hanya dalam semalam menangkap ikan di
laut.
Sama dengan buku sebelumnya yang
berjudul Membaca Indonesia dari Kacamata Batam, Sang Penulis
tak kalah tajam dalam menyoroti neo liberalisme. Di bawah Otorita Batam, mesin
pembangunan yang berpedoman kepada liberalisasi ekonomi kemudian menciptakan paradoks
bahkan kontradiksi. Problema sosial muncul sama banyaknya dengan ledakan
populasi.
Pertumbuhan ekonomi terkatrol
sangat signifikan, namun pemerataan sosial tertatih – tatih di belakangnya.
Akhirnya tercipta gap antara borjuis dan jelata dalam posisi
saling menyikut. Dalam hal ini masyarakat akar rumput perkotaan termasuk
penduduk hinterland berada dalam kerumunan yang kalah, baik
karena dihambat oleh gelagat kapitalisme maupun oleh tabiat kolektif yang ada
pada diri mereka sendiri.
Dan buku ini menyajikan secara utuh
tentang fenomena hinterland dengan wajah murung masa depan
yang sulit diprediksi. Buku ini juga sangat detil berbicara soal semua dimensi
yang melingkupi kaum hinterland dilengkapi tabulasi jejak pendapat
selanjutnya menawarkan poin – poin solusi holistik sehingga dapat
dijadikan guideline oleh para pengambil kebijakan untuk
mengangkat martabat dan keenomian hinterland Batam ke
depan. ~MNT
Pengantar Editor untuk buku: Potret Masyarakat Hinterland Batam, Ade P Nasution
Pengantar Editor untuk buku: Potret Masyarakat Hinterland Batam, Ade P Nasution
Komentar
Posting Komentar