Duriangkang dan Sei Beduk

Ilsutrasi: google.image



Pertempuran Memperebutkan Gadis Tionghoa

Sebelum menjadi Dam Duriangkang, wilayah ini adalah sebuah kampung tua yang mayoritas dihuni orang Tionghoa. Duriangkang merupakan tempat pendaratan pertama orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari daratan China.
Orang-orang Tionghoa ini datang dengan menggunakan perahu tongkang yang bercirikan gambar mata di bagian depannya. Sempena nama perahu tongkang tersebut yang singgah di salah satu anak sungai, wilayah Duriangkang awalnya diberi nama Sungai Tongkang.

Selain itu nama Sungai Beduk dalam kawasan yang berhampiran dengan Duriangkang berasal dari bunyi pukulan beduk oleh orang Tionghoa untuk memberi semangat kepada anak buah tongkang, agar pelayarannya cepat sampai ke tujuan.
Ketika memasuki muara sungai ini pukulan beduk orang-orang Tionghoa semakin lantang, hingga terdengar oleh sebagian penduduk Kampung Ngedan dan Batu Ampar, yang merasa keheranan mendengar bunyi pukulan beduk itu. Mereka awalnya menduga bunyi beduk tersebut berasal dari masjid besar yang mungkin baru dibangun di hulu sungai.
Akhirnya daerah aliran sungai ini dinamai Sungai Beduk oleh orang Melayu di sekitarnya. Sedangkan nama Duriangkang diambil dari sebuah pohon durian yang berada di pinggir sungai. Ketika orang-orang Tionghoa melewati pohon durian besar itu, mereka mengatakan “duriangkang” yang artinya durian besar.

Nama inilah yang digabungkan dengan dua nama yaitu Duriangkang dan Sungai Beduk. Pada abad ke-18 keberadaan suku Tionghoa di daerah ini sudah mulai berkembang. Mereka membuka lahan pertanian karet, gambir dan lain sebagainya. Kebiasaan orang Tionghoa pada awalnya merantau di Kepulauan Riau jarang membawa kaum perempuan. Dengan memandang keadaan pelayaran yang begitu jauh meretas samudera dan situasi keamanan pada waktu juga cukup berbahaya.
Dalam sejarah keberadaan suku Tionghoa ini di Batam setelah Duriangkang (Sungai Beduk), Sungai Panas dan Tembesi juga dihuni oleh suku Tionghoa pada pertengahan abad ke-18. Setelah sekian abad mereka berada di pulau Batam, maka ada di antara mereka yang berlayar pulang ke negerinya untuk menjemput keluarga masing-masing.

Hal ini kemudian menimbulkan perselisihan antara sesama Tionghoa di Duriangkang dan Ngedan dengan Tionghoa Sungai Panas dan Tembesi karena memperebutkan kaum perempuan atau gadis Tionghoa untuk dijadikan isteri.
Pertempuran pun tak dapat dihindari hingga suatu hari Raja Haji Mahmud diutuskan oleh ayahandanya untuk menertibkan mereka, sekaligus mulai memungut pajak dari hasil pertanian. Dalam menjalankan misinya Raja Haji Mahmud didampingi oleh seorang penerjemah benama Wak Selaut yang fasih berbahasa Tionghoa.
Penghasilan dari Sungai Beduk atau Duriangkang bukan saja dari hasil pertanian namun juga dari hasil tangkapan nelayan. Kekayaan ikan Sungai Beduk pada masa itu dapat dinikmati oleh para nelayan dari berbagai kampung seperti Kampung Bagan, Teluk Lengong , Teluk Mambang , Kampung Ngedan dan Batu Ampar. Sungai Duriangkang pada masa itu memiliki banyak cabang hingga mencapai 59 anak sungai.

Duringkang atau Sungai Beduk ini juga pernah dijadikan markas besar TNI (KKO) pada tahun 1965 yang dilengkapi dengan peralatan perang (tank tempur). Pada masa itu dua prajurit TNI menjadi korban setelah tertangkap di Singapura ketika akan meledakkan Jembatan Merdeka Singapura, hingga akhirnya dijatuhi dengan hukuman gantung. Hal ini berkaitan dengan pemberian nama lapangan sepak bola di Duriangkang dengan Nama “Usman Harun”. ~MNT
Teks asli: Tatang Surya Priatna 

Komentar

Postingan Populer