Hikayat Kampung Jodoh


Kampung Jodoh (F: Otorita Batam)


Puncak Amarah Awang Sandang

Sebutan nama Jodoh cukup dikenali oleh masyarakat Batam pada umumnya, karena sekarang ini daerah tersebut telah menjadi pusat perbelanjaan dari berbagai daerah Pulau Batam. Meskipun demikian, Jodoh mempunyai sejarah tersendiri yang menjadi bahan ingatan hingga ke akhir zaman. Semasa pemerintahanan Raja Muhammad Yusuf yang berpusat di Kampung Melayu Jodoh pada tahun 1858 (YDMR X), tempat ini belum dinamai Jodoh.
Setelah kedatangan orang-orang Galang Ladi yang mengabdi kepada beliau untuk menebarkan jasanya bertugas sebagai Panglima dan Hulubalang dalam membantu menjaga keamanan setempat, maka terjadilah beberapa hal seperti pertarungan antara Panglima Ladi bernama Awang Sandang dengan pelaut-pelaut orang Bugis pada waktu itu. Kebiasaan mereka melakukan pertarungan di tanah datar kampung tersebut setelah mendapat persetujuan raja, lalu mereka akan dijodohkan dengan tanding kebolehan beladiri di tempat terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat ramai.

Kebiasaan begini berlangsung hingga pada suatu hari Panglima Awang Sandang bertemu dengan jodoh tanding dengan Panglima Sampit dari Sulawesi, mereka meminta agar raja memberi keizinan mereka bertarung uji kebolehan. Namun setelah beberapa hari berlangsungnya pertarungan tersebut dan tidak ada yang menyatakan menang serta kalah, artinya sama-sama kuat. Akhirnya kedua belah pihak mengaku bersahabat, namun setelah raja menerima peminangan oleh Panglima Sampit terhadap putrinya, terjadilah kekecewaan pada Panglima Awang Sandang yang mana sebelumnya adalah merupakan kekasih dari Putri Mayang.
Dari rasa kesal inilah, maka tumbuh di hati Awang Sandang yang menyimpan dendam dan geram kepada sahabatnya. Hingga pada suatu hari saat akan dilangsungkan pesta pernikahan antara Panglima Sampit dan Putri Mayang, lalu berita ini didengar oleh Awang Sandang. Dengan puncak kemarahannya yang tidak dapat menahan kecewa, lalu meminta kepada raja untuk melakukan pertarungan sabung ayam dan hal ini disetujui oleh raja.

Maka dicanangkanlah segenap Teluk dan Rantau bagi sesiapa yang memiliki ayam sabung agar dapat tampil di upacara pertandingan tersebut. Setelah peserta berdatangan membawa ayam yang dimaksud pertandingan pun dimulai, ketika raja mempersilakan Awang Sandang melepaskan ayamnya, lalu dia berkata: “ampun tuanku, sembah patek harap diampun. Ayam yang hamba maksud adalah diri patek sendiri yang ingin bersabung dengan Panglima Sampit”. Mendengar hal ini, kemudian raja terdiam dan termenung seketika memikirkan berita menyabung ayam sudah tersiar kemana-mana.
Sedangkan permintaan dari Awang Sandang lain dari yang dimaksud, demikian pula halnya dengan Panglima Sampit yang tidak ingin dipermalukan, lalu mempersembahkan kepada Raja. “Ampon Tuanku, kalau itulah yang dimaksud Panglima Awang Sandang, maka patek menerima tantangannya”. Mendengar tantangan dari lawannya, Awang Sandangpun mulai bertindak di luar dugaan semua pihak, yang tangan kirinya dengan cepat merangkul Putri Mayang di dalam pertarungan tersebut.

Dan Panglima Sampit pun berhati-hati melakukan perlawanan itu, karena takut serangannya mencederai puteri dan setelah pertarungan berlangsung beberapa saat, kemudian dapat dileraikan oleh saudara Awang Sandang dari pengawal-pengawalnya. Namunp demikian perjodohan antara Putri Mayang dengan Panglima Sampit tetap berlangsung dan resmilah mereka menjadi suami istri.
Kekecewaan di pihak Awang Sandang masih terlintas dalam pikirannya, setelah mengatur strategi dan mengumpulkan para hulu balang orang-orang Ladi, lalu dia menyerang Kampung Jodoh yang didahului oleh para hulubalangnya untuk memporak-porandakan pertahanan Panglima Sampit, di dalam waktu kegerahan menentang orang-orang Ladi. Maka kesempatan ini dimanfaatkan oleh Awang Sandang untuk masuk ke dalam istana tanpa dapat ditahan oleh pengawal, lalu membunuh Raja dan beberapa orang anaknya yang masih kecil serta melakukan perbuatan keji terhadap Putri Mayang sebelum melarikannya.
Dari kecerobohan itu, maka kekebalan dan kekuatan yang dimilikinya telah hilang dengan mudah dia dapat ditewaskan oleh Panglima Sampit lantaran keris yang dibenamkan ke tubuhnya langsung dapat menewaskan jiwanya. Setelah para pengikutnya melihat Awang Sandang tewas terkapar, maka mereka mundur dan menghentikan pertempuran. Dari kejadian ini orang-orang Ladi tidak lagi mempunyai pemimpin yang tangguh, lalu memutuskan untuk kembali ke tempat asal mereka di Kepulauan Sulit, dengan meninggalkan kampungnya Teluk Bujang Rambang dan Sungai Ladi.
Pada masa sekarang ini daerah tersebut telah dijadikan pengembangan perumahan. Kampung Jodoh mempunyai beberapa anak sungai di antaranya Sungai Jodoh, Sungai Lubuk Tepi, Sungai Lubuk Tengah, dan Sungai Lubuk Baja.

Adapun Sungai Jodoh sekarang tepatnya di tapak Nantongga Hotel, Sungai Lubuk Tepi digunakan sebagai saluran air yang dimulai dari Puri Garden (The Hill Hotel) ke arah Dana Graha dan Melia Panorama dan seterusnya ke pinggir laut. Sedangkan Lubuk Tengah ditimbun tapak Robinson, manakala Sungai Lubuk Baja ditimbun hulunya hingga ke muara lebih dikenal dengan Nagoya Point berhampiran Pasar Rakyat Tanjung Uma. Tidak heran sekarang ini, kita mendengar sebutan Lubuk Baja di berbagai tempat di Nagoya, karena diambil sempena nama sungai yang asli. ~MNT
Sumber teks asli: Tatang Surya Priatna 

Komentar

Postingan Populer