Telaga Punggur
Pelabuhan Telaga Punggur (F: ist) |
Sumber Mata Air di Bawah Pohon Punggur
Pada masa dahulunya terdapat sebuah pohon besar yang sudah mati dan tidak lagi dikenal dari jenis pohon apa. Masyarakat di sekitar pohon itu tumbuh menyebutnya sebagai sebagai Pohon Punggur.
Pohon yang pernah hidup hingga ratusan tahun dan tinggi menjulang ini tetap tegak berdiri meski sudah mati. Berhampiran di pangkal pohon itu terdapat sebuah sumber mata air bening yang masih dapat ditemukan sehingga pada pertengahan abad ke-18. Oleh To Kecut, seorang tetua yang membuka kampong tersebut, sumber mata air tadi dijadikan sumur yang dikenali dengan nama telaga. Karena berhampiran dengan kayu yang sudah mati yang disebut Punggur itu maka penduduk sekitarnya menamai kawasan itu dengan sebutan Telaga Punggur.
Setelah beberapa lama, pendatang dari suku Cina ikut menempati daerah ini menemukan sebuah pohon asam besar yang berhampiran dengan Pos Polisi sekarang dan sehingga ada pula yang menamakan kampung Telaga Punggur dengan nama Asam Kang (asam besar).
Telaga Punggur di masa kini juga disebut kawasan pelabuhan Domestik Batam menuju Tanjungpinang dan beberapa kawasan lainnya. Dahulunya kawasan ini adalah perkampungan Teluk Nipah yang mana asal nama tersebut adalah sejenis pohon rumbia yang banyak tumbuh di kawasan itu.
Setelah tempat ini berubah wajah, maka terjadilah sebutan menjadi dua Punggur yakni Pelabuhan Punggur dan Punggur Dalam. Pada masa To Kecut membuka areal lahan kampung tersebut bersama dengan istri dan anak – anaknya, dia banyak memberikan pelajaran agama Islam kepada penduduk yang belum paham tentang keagamaan.
Kepulauan Riau, mengakhiri masa jayanya pada tahun 1911 setelah Belanda meminta Raja Abdul Rahman menjadi rakyat biasa. Pada pertengahan awal abad ke-19 atau tahun 1923, pihak Belanda mengangkat Pak Rahmad sebagai Amir (sekarang camat) yang merupakan Amir yang ditempatkan di Telaga Punggur dan pusat pemerintahannya di Tanjungpinang.
Setelah Rahmad diangkat menjadi Amir, pemerintah Belanda pada waktu itu memanggil Rahmad dan menganjurkan agar orang – orang laut atau Suku Laut di sekitar Punggur dikumpulkan dan diberi tempat tinggal, dengan tujuan agar mereka dapat terorganisir dengan baik dan mengurangi pelayaran secara bebas.
Mengingat keadaan pada waktu itu sangat tidak memungkinkan dan sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. Meskipun pihak Belanda ini adalah penjajah namun mereka masih bisa menghargai keberadaan Suku Laut.
Salah satu tempat tinggal mereka yaitu Pulau Kubung, dan sampai sekarang keturunan dari mereka masih dapat ditemui, bahkan dari keturunannya ada yang telah mendapat gelar dalam hal pendidikan, serta bekerja di berbagai perusahaan di Pulau Batam. Hikayat Kampong Tua Telaga Punggur ini ni diceritakan oleh Muhammad Dali. ~MNT
Sumber cerita: Tatang Surya Priatna
Komentar
Posting Komentar